Stockholm Syndrome,,,
merupakan sebuah fenomena dimana korban bersimpati penuh kepada penculik karena korban merasa penculik ini adalah sang messiah bagi mereka. Para korban mengalami situasi dimana mereka tertekan dalam sebuah isolasi, yang tapi,, membuat mereka malah bergantung pada pelaku untuk bertahan hidup. Mirisnya kebaikan kecil dari sang pelaku bisa dianggap sebagai harapan, sehingga korban malah mengembangkan perasaan positif terhadapnya. Akhirnya, korban mungkin merasa loyal dan berkeinginan untuk melindungi pelaku. Proses seperti ini gak bisa terjadi secara langsung atau instan, proses ini berkembang selama waktu tertentu di bawah tekanan psikologis dan fisik yang gak bisa dibayangkan.
Dalam skenario lain, ada cerita dimana di sebuah negara terdapat masyarakat yang mengelu-elukan pemerintahan yang bahkan dalam rahasia umum sedang melakukan kolaborasi bisnis ilicit demi keamanan keturunan mereka. Tentu saya tidak membicarakan Indonesia, karena Indonesia merupakan negara demokrasi yang menjunjung tinggi kesejahteraan masyarakat umum dan pendorong pencerdasan kehidupan bangsa. Saya sedang membicarakan negara X ydfsubfshuzbfhzbifhbdfzi *hahaha gatau saya pusing bikin alasan.
Stockholm Syndrome dalam pikiran saya ini agaknya relevan dengan konteks sosio-politik di suatu negara X ini. Masyarakat yang hidup di bawah pemerintahan saat ini sering kali merasa ketergantungan secara ekonomi dan sosial karena mereka memang sudah di desain seperti itu. Pemerintah makai propaganda dan manipulasi informasi untuk menciptakan ilusi bahwa mereka adalah satu-satunya solusi bagi masalah yang ada. Hal ini kemudian mirip dengan bagaimana penculik membuat korban merasa mereka adalah penyelamat.
Pernah nggak sih kita merasa ada hal-hal seru dan sensasional yang tiba-tiba viral, tapi sebetulnya cuma pengalihan aja dari isu serius kayak korupsi? Ini semacam trik "bread and circuses" yang sudah ada sejak zaman Romawi kuno. Jadi, pemerintah atau pihak tertentu menciptakan skandal atau kontroversi yang menarik perhatian, terus media sosial dibanjiri konten hiburan. Sementara kita sibuk nge-like dan share, berita korupsi dan kebobrokan pemerintah jadi tenggelam.
Akibatnya, fokus kita teralihkan dari masalah penting kayak ekonomi dan politik. Misalnya, festival besar atau drama selebriti yang bikin heboh, sering kali dipakai buat ngebangkitin rasa nasionalisme dan mengalihkan perhatian dari masalah korupsi. Dengan begitu, pemerintah bisa tetap bertahan dengan dukungan publik, meski kebobrokan mereka nggak tersorot. Makanya, penting banget buat kita tetap kritis dan nggak gampang terjebak sama distraksi yang disengaja ini.
Banyak rezim otoriter yang dapat bertahan lama karena berhasil menciptakan ilusi stabilitas dan keamanan. Misalnya di Rusia, Vladimir Putin hingga kini masih mendapatkan dukungan rakyat karena berbagai alasan seperti nasionalisme, ketakutan akan perubahan, atau kurangnya alternatif yang jelas dalam kebajikan bersama masyarakat.
Pada kasus di pemerintah di negara X ini mereka biasanya membuat banyak kebijakan error atau murni kebijakan busuk yang sudah pasti melukai perasaan masyarakat bernegara di negara X ini. Lapisan demi lapisan kebobrokan ini mungkin akan ditambal dengan sedikit bumbu kebijakan bagus yang ternyata sudah disetting untuk menyenangkan masyarakat dalam waktu sesaat saja. Proses diatas terus dilakukan berulang-ulang dengan bumbu eufemisme agar pola ini tak gampang terbongkar.
Masyarakat mungkin menjadi kurang peka terhadap korupsi yang terjadi, menganggapnya sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari. Mereka mencari pembenaran atas tindakan pemerintah yang korup, kemudian dari sini saya mengambil kesimpulan bahwa ini sama seperti korban Stockholm Syndrome yang mencari alasan untuk tindakan penculik mereka.
Referensi
Giambrone, A. (2015, January 17). Coping after captivity. The Atlantic.
Tomić, Z., & Grbavac, I. (2016). Political Public Relations− Media and Information Management. Communication Management Review, 1(01), 84-102.
Komentar
Posting Komentar